Bagian 2:
Menapaki Medan Pengabdian
Dari Kampus ke Medan Nyata
Lulus dari kawah candradimuka pendidikan militer, para perwira muda lulusan Akabri 1994 segera dihadapkan pada dunia nyata—dunia pengabdian yang menuntut ketegasan, ketangguhan, dan integritas. Tahun-tahun awal pengabdian mereka bertepatan dengan fase penting sejarah bangsa: mulai dari puncak kekuasaan Orde Baru hingga masa transisi reformasi yang penuh gejolak.
Penempatan pertama membawa mereka ke berbagai penjuru negeri. Ada yang ditugaskan di pelosok Papua, perbatasan Kalimantan, hutan Aceh, pesisir Sulawesi, hingga daerah-daerah konflik seperti Maluku dan Timor Timur. Bagi mereka, pengabdian tidak dimulai dari ruang ber-AC atau rapat strategis, tetapi dari pos jaga terpencil, patroli berhari-hari, dan interaksi langsung dengan masyarakat akar rumput.
Berhadapan dengan Krisis dan Konflik
Mereka adalah saksi sekaligus pelaku sejarah di masa-masa sulit bangsa. Ketika krisis ekonomi 1998 mengguncang Indonesia, dan reformasi menumbangkan rezim lama, banyak dari alumni Akabri 1994 yang bertugas langsung di lapangan menjaga stabilitas keamanan. Saat konflik SARA meletus di Ambon dan Poso, serta operasi militer dilancarkan di Aceh dan Papua, mereka berada di garis depan, memikul tanggung jawab besar dengan usia yang masih muda dan pangkat yang belum tinggi.
Tantangan bukan hanya datang dari medan berat atau konflik bersenjata, tetapi juga dari dinamika sosial-politik yang berubah cepat. Mereka dituntut untuk cerdas, sigap membaca situasi, namun tetap tegas menjaga kehormatan institusi dan negara.
Ditempa oleh Lapangan, Diuji oleh Waktu
Bagi para alumni Akabri 1994, masa-masa pengabdian di awal karier bukanlah perjalanan yang ringan. Mereka hidup dalam seragam yang tidak hanya melambangkan otoritas, tetapi juga pengorbanan. Banyak dari mereka yang harus berpisah lama dari keluarga, hidup berpindah-pindah tugas, dan mengalami kerasnya medan pengabdian tanpa banyak keluhan.
Namun justru di sanalah mereka ditempa menjadi pemimpin. Mereka belajar mengelola krisis, memimpin anak buah dalam situasi sulit, dan beradaptasi dengan berbagai kultur lokal di tempat tugas. Kemampuan interpersonal, pengambilan keputusan di bawah tekanan, serta kepemimpinan lapangan menjadi bekal berharga dalam perjalanan karier selanjutnya.
Dari Pengawal Bangsa Menjadi Pilar Institusi
Tiga dekade berlalu, para taruna yang dahulu berbaris dalam derap langkah kini banyak yang menjadi perwira tinggi. Di antara mereka ada yang menjabat Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf, komandan pasukan elite, kepala satuan wilayah, dan pejabat strategis di kementerian maupun lembaga negara. Ada pula yang memilih jalur akademik, menjadi pengajar, peneliti, atau duta besar. Tak sedikit pula yang menjalankan misi internasional di bawah bendera PBB.
Namun tak peduli jabatan atau posisi, mereka tetap membawa nilai-nilai yang tertanam sejak awal: setia pada negara, rendah hati dalam memimpin, dan teguh dalam prinsip. Jejak pengabdian mereka bukan hanya terlihat di atas kertas birokrasi, tetapi nyata terasa di lapangan: dalam ketenangan daerah rawan, kedamaian pasca konflik, dan keteladanan dalam menjalankan tugas.
Bagian 1
Silahkan beri komentar
0 komentar:
Posting Komentar