Supremasi sipil sering dipandang sebagai fondasi utama sebuah negara demokrasi. Namun, dalam konteks Indonesia, penerapannya belum bisa berjalan secara utuh, bukan semata karena kekurangan aturan, tetapi karena ketiadaan kesamaan dan kesepakatan rakyat Indonesia dalam mencapai ideal itu.
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai budaya, suku, dan pandangan yang beragam. Kesamaan pandang tentang peran sipil dan militer belum terwujud sepenuhnya, apalagi kesepakatan kolektif untuk mendukung supremasi sipil secara konsisten. Dalam realitas ini, cita-cita supremasi sipil kerap hanya menjadi wacana tanpa fondasi sosial yang kuat.
Lebih jauh lagi, tidak ada jalan pintas menuju supremasi sipil tanpa terlebih dahulu membangun katalis kebangsaan yang kokoh—yaitu disiplin sosial, tanggung jawab kolektif, dan tata kelola kehidupan berbangsa yang baik dan tertata. Tanpa itu, segala harapan akan supremasi sipil hanyalah ilusi yang mungkin tidak akan terwujud, bahkan dalam rentang waktu yang panjang sekalipun.
Indonesia tidak bisa serta-merta mengadopsi model supremasi sipil dari negara lain, karena tatanan sosial dan budaya kita berbeda secara fundamental. Menuntut supremasi sipil tanpa memahami dan membangun fondasi kehidupan kebangsaan yang matang sama saja seperti mencoba memaksakan benang ke dalam jarum tanpa melembutkannya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, sebelum kita berbicara tentang supremasi sipil sebagai kebaikan mutlak, kita harus sadar bahwa mewujudkannya membutuhkan proses panjang dan kesediaan melepaskan ego serta keinginan sesaat demi kesepakatan nasional yang lebih luas. Tanpa katalis ini, supremasi sipil tidak lebih dari sekadar harapan yang sulit menjadi kenyataan.
Silahkan beri komentar
0 komentar:
Posting Komentar