![]() |
Kolonel Inf A Suhendar |
Di era percepatan teknologi, kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) membawa dilema besar: antara menjadi alat bantu yang memudahkan atau ancaman yang menggerus kebanggaan manusia atas jerih payahnya.
Banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi dengan susah payah merasa pencapaiannya “dikalahkan” oleh kecanggihan AI. Tak sedikit pula yang kemudian menuduh pengguna AI sebagai pihak yang “tidak mampu berpikir” dan hanya mengandalkan mesin. Pertanyaannya: untuk apa gelar tinggi jika akhirnya terjebak pada sikap meremehkan, bukan memanfaatkan teknologi demi kebermanfaatan?
-
Pengguna AIMereka yang memandang AI sebagai alat bantu, bukan pengganti. AI dipakai untuk mempercepat analisis, merangkum informasi, bahkan menstimulasi ide-ide baru. Pengguna AI yang bijak tahu bahwa kecerdasan buatan hanyalah “mesin ketik super cepat” yang butuh manusia sebagai pengarah.
-
Penolak AIMereka yang menolak dengan alasan AI mengancam orisinalitas pikiran, meruntuhkan kebanggaan intelektual, atau sekadar dianggap sebagai “jalan pintas” yang mematikan daya juang. Bagi kelompok ini, AI adalah lawan, bukan kawan.
Di sinilah paradoks muncul. AI sebenarnya bisa membantu perwira TNI mempercepat kerja akademik, misalnya dengan menyusun kerangka tulisan, mengolah data, atau mengembangkan perspektif. Tapi ironisnya, ada stigma: perwira yang menggunakan AI dicap lemah, malas berpikir, bahkan tidak pantas menyandang predikat akademisi.
Padahal, bukankah tugas utama perwira adalah menjaga bangsa melalui strategi dan kepemimpinan nyata? Mengapa harus dipaksa menulis manual berjam-jam hanya demi menjaga ilusi “orisinalitas”?
-
Menghilangkan kebanggaan pikiranAda rasa takut bahwa hasil analisis yang dibantu AI bukan lagi “murni” miliknya, sehingga kebanggaan personal memudar.
-
Ancaman orisinalitasAI dianggap mencuri keaslian gagasan. Padahal, sejatinya AI hanya alat bantu—seperti halnya kalkulator bagi ahli matematika.
-
Menolak kebangkitanAda pula kekhawatiran bahwa mereka yang dulu dianggap “terbelakang” bisa naik kelas berkat bantuan AI. Seakan-akan, AI meruntuhkan hierarki lama yang sudah mapan.
Sekolah tinggi dan gelar akademik bukanlah simbol untuk menolak teknologi, melainkan bekal agar mampu menggunakannya dengan bijak. Justru yang berbahaya adalah ketika manusia hanya sibuk menjaga gengsi, sementara dunia terus melaju bersama AI.
Penulis: Perwira Piket
0 komentar:
Posting Komentar