8 Sep 2025

Antara Gelar, AI, dan Perwira yang Dituding Lemah

Kolonel Inf A Suhendar 

Di era percepatan teknologi, kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) membawa dilema besar: antara menjadi alat bantu yang memudahkan atau ancaman yang menggerus kebanggaan manusia atas jerih payahnya.


Banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi dengan susah payah merasa pencapaiannya “dikalahkan” oleh kecanggihan AI. Tak sedikit pula yang kemudian menuduh pengguna AI sebagai pihak yang “tidak mampu berpikir” dan hanya mengandalkan mesin. Pertanyaannya: untuk apa gelar tinggi jika akhirnya terjebak pada sikap meremehkan, bukan memanfaatkan teknologi demi kebermanfaatan?


Dua Kubu: Pengguna dan Penolak AI.  Fenomena ini setidaknya membelah masyarakat ke dalam dua kategori:
  1. Pengguna AI
    Mereka yang memandang AI sebagai alat bantu, bukan pengganti. AI dipakai untuk mempercepat analisis, merangkum informasi, bahkan menstimulasi ide-ide baru. Pengguna AI yang bijak tahu bahwa kecerdasan buatan hanyalah “mesin ketik super cepat” yang butuh manusia sebagai pengarah.

  2. Penolak AI
    Mereka yang menolak dengan alasan AI mengancam orisinalitas pikiran, meruntuhkan kebanggaan intelektual, atau sekadar dianggap sebagai “jalan pintas” yang mematikan daya juang. Bagi kelompok ini, AI adalah lawan, bukan kawan.


Perwira TNI dan Paradoks Akademik.   Contoh nyata ada di lingkungan para perwira TNI. Sehari-hari mereka berkutat dengan urusan strategis, operasi, hingga manajemen pasukan. Namun di sisi lain, tuntutan akademik tetap ada: menulis makalah, menyiapkan kajian strategis, atau merumuskan analisis kebijakan.

Di sinilah paradoks muncul. AI sebenarnya bisa membantu perwira TNI mempercepat kerja akademik, misalnya dengan menyusun kerangka tulisan, mengolah data, atau mengembangkan perspektif. Tapi ironisnya, ada stigma: perwira yang menggunakan AI dicap lemah, malas berpikir, bahkan tidak pantas menyandang predikat akademisi.


Padahal, bukankah tugas utama perwira adalah menjaga bangsa melalui strategi dan kepemimpinan nyata? Mengapa harus dipaksa menulis manual berjam-jam hanya demi menjaga ilusi “orisinalitas”?



Denial dan Ketakutan.   Penolakan terhadap AI di kalangan intelektual maupun perwira bisa dilihat dari tiga hal utama:
  • Menghilangkan kebanggaan pikiran
    Ada rasa takut bahwa hasil analisis yang dibantu AI bukan lagi “murni” miliknya, sehingga kebanggaan personal memudar.

  • Ancaman orisinalitas
    AI dianggap mencuri keaslian gagasan. Padahal, sejatinya AI hanya alat bantu—seperti halnya kalkulator bagi ahli matematika.

  • Menolak kebangkitan
    Ada pula kekhawatiran bahwa mereka yang dulu dianggap “terbelakang” bisa naik kelas berkat bantuan AI. Seakan-akan, AI meruntuhkan hierarki lama yang sudah mapan.


Jalan Tengah.   Alih-alih memperdebatkan, mungkin lebih bijak melihat AI sebagai bagian dari ekosistem kerja modern. Sama seperti perwira TNI memanfaatkan GPS, drone, atau perangkat komunikasi mutakhir, mengapa kecerdasan buatan tidak bisa dipandang sebagai senjata baru di ranah intelektual?

Sekolah tinggi dan gelar akademik bukanlah simbol untuk menolak teknologi, melainkan bekal agar mampu menggunakannya dengan bijak. Justru yang berbahaya adalah ketika manusia hanya sibuk menjaga gengsi, sementara dunia terus melaju bersama AI.


Penulis: Perwira Piket 


Silahkan beri komentar

0 komentar: