Bagian 1 – Supremasi Sipil dan Trias Politica di Persimpangan Jalan
![]() |
Triaspolitica |
Demokrasi Indonesia kini benar-benar berada di persimpangan jalan. Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, janji bahwa rakyat akan kembali berdaulat terasa semakin jauh. Supremasi sipil yang idealnya menjadi roh demokrasi, dalam kenyataan justru kerap terbelit kepentingan elite. Apa yang seharusnya menjadi panggung rakyat berubah menjadi arena eksklusif bagi segelintir kelompok yang menguasai modal dan kekuasaan.
Keadaan ini makin jelas terlihat ketika tiga pilar trias politica—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—tidak lagi berfungsi seimbang. Sebagian besar publik merasakan bahwa keputusan negara tidak lahir dari proses demokrasi yang sehat, melainkan hasil negosiasi elite yang berada di balik layar.
Supremasi Sipil: Janji dan Realita
Sejak runtuhnya Orde Baru, harapan besar bertumpu pada prinsip supremasi sipil. TNI dipulangkan ke barak, DPR dipilih secara demokratis, dan lembaga yudikatif dijanjikan independen. Namun, setelah lebih dari dua dekade, harapan itu tak kunjung terwujud sepenuhnya.
Banyak kebijakan publik menunjukkan bahwa suara rakyat tidak benar-benar menjadi acuan utama. Aspirasi yang disampaikan melalui forum resmi sering berakhir tanpa tindak lanjut, sementara kepentingan politik dan bisnis jalan terus. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah demokrasi Indonesia hanya berhenti pada prosedur pemilu, tanpa menyentuh substansi kedaulatan rakyat?
Protes Viral 25 Agustus 2025
Puncak kekecewaan publik meledak pada 25 Agustus 2025, ketika ribuan massa mengepung kompleks DPR RI di Senayan. Mereka memprotes keputusan DPR menaikkan tunjangan anggota dewan hingga lebih dari 30% di tengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit.
Aksi ini cepat meluas ke berbagai kota besar—Surabaya, Makassar, Medan, hingga Jayapura. Bentrokan pecah di Jakarta, beberapa gedung rusak, dan aparat terpaksa menurunkan pasukan tambahan untuk mengendalikan situasi. Di media sosial, tagar #DPRPestaRakyatMenderita sempat menjadi trending nomor satu, menegaskan jurang yang semakin lebar antara elite politik dan rakyat.
Protes ini bukan sekadar soal uang, tetapi simbol kegagalan demokrasi dalam menyeimbangkan aspirasi rakyat dengan kepentingan elite.
Trias Politica yang Dibelit Oligarki
Secara teori, trias politica menegakkan prinsip check and balance. Eksekutif menjalankan kebijakan, legislatif mengawasi, dan yudikatif menjadi penegak hukum yang independen. Namun, di Indonesia, fungsi ini makin kabur.
Eksekutif kerap mendominasi dengan memanfaatkan kekuasaan politik dan birokrasi. Legislatif, yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru terjebak dalam politik transaksional. Sementara itu, yudikatif pun tak luput dari intervensi. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2023 yang mengizinkan Gibran maju sebagai calon wakil presiden meski belum memenuhi syarat usia, menjadi contoh gamblang bagaimana hukum bisa disesuaikan demi kepentingan tertentu.
Pluralisme Indonesia: Kekuatan yang Terkikis
Indonesia memiliki kekayaan pluralisme: lebih dari 17 ribu pulau, 700 lebih bahasa daerah, dan ratusan kelompok etnis. Dalam ideal demokrasi, keragaman ini adalah kekuatan besar yang memperkaya perdebatan publik dan memperluas representasi.
Namun, kenyataan sering berkata lain. Politik identitas masih menjadi senjata paling ampuh untuk menggalang dukungan. Dari Pilkada DKI 2017 hingga Pemilu 2024, isu SARA digunakan berulang kali. Bagi elite, perbedaan adalah alat untuk meraih suara; bagi rakyat, perbedaan itu justru memperdalam polarisasi sosial.
Ketika pluralisme dipolitisasi, demokrasi kehilangan esensinya. Alih-alih menjadi rumah bersama, ia berubah menjadi medan konflik kepentingan.
Akmil94: Generasi yang Berpikir Maju
Dalam situasi ini, refleksi dari berbagai kalangan sangat penting. Perwira lulusan Akmil 1994 punya posisi menarik. Mereka adalah angkatan pertama yang sepenuhnya berasal dari lulusan SMA, bukan dari prajurit yang naik jalur karier. Karakter ini menjadikan mereka generasi yang berpikiran lebih maju, terbuka pada perubahan, dan akrab dengan cara berpikir kritis.
Kini, banyak alumni Akmil94 telah menduduki jabatan penting—mulai dari komandan lapangan, staf strategis, hingga panglima daerah. Pengalaman mereka sebagai saksi langsung dinamika reformasi membuat pandangan mereka relevan untuk menilai apakah demokrasi Indonesia masih berada di jalur yang benar.
Pertanyaan besar bagi generasi ini: bagaimana menjaga netralitas militer dan sekaligus memastikan demokrasi tidak jatuh ke tangan oligarki?
Kesimpulan Sementara
Protes besar 25 Agustus 2025 menjadi alarm keras bahwa demokrasi Indonesia sedang kehilangan arah. Supremasi sipil yang digadang-gadang sebagai fondasi ternyata masih sulit diwujudkan. Trias politica yang seharusnya menahan dominasi elite malah terseret arus kepentingan oligarki.
Bagi bangsa yang plural seperti Indonesia, situasi ini sangat berbahaya. Demokrasi bisa runtuh bukan karena kudeta militer, tetapi karena pelan-pelan kehilangan kepercayaan rakyat.
Namun, catatan ini bukanlah vonis akhir. Masih ada ruang untuk perbaikan, asalkan kesadaran kolektif tumbuh dan elite mau mengembalikan demokrasi kepada rakyat. Di sisi lain, peran perwira seperti Akmil94 penting sebagai penjaga stabilitas dan penyalur gagasan kebangsaan yang lebih sehat.
Bagian berikutnya akan mengulas bagaimana People’s Power 2025 muncul sebagai reaksi rakyat, baik di jalanan maupun di ruang digital, menandai babak baru perlawanan terhadap demokrasi yang pincang.
0 komentar:
Posting Komentar