22 Sep 2025

Serial Artikel: Demokrasi di Ujung Tanduk

Bagian 2 – People’s Power 2025: Dari Jalanan ke Ruang Digital

People's Power on Digital Space

Gelombang protes 25 Agustus 2025 bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah babak baru. Ketidakpuasan rakyat terhadap elite politik melahirkan sebuah fenomena yang kemudian populer disebut People’s Power 2025. Gerakan ini tidak hanya berwujud massa di jalanan, tetapi juga menyebar luas melalui ruang digital—menciptakan tekanan sosial-politik yang belum pernah terjadi dalam dua dekade terakhir.

Jika pada 1998 mahasiswa menjadi motor perubahan, kali ini masyarakat lintas generasi, mulai dari Gen Z hingga pekerja kantoran, bersatu dalam satu suara: mengembalikan demokrasi ke jalurnya.


Lahirnya People’s Power 2025

Awalnya, protes itu dianggap hanya sebagai reaksi sesaat. Namun, ketika tuntutan massa tidak ditanggapi, kemarahan publik justru semakin terorganisir. Berbagai komunitas, organisasi mahasiswa, serikat buruh, hingga kelompok keagamaan bergabung, menciptakan gerakan yang lebih solid.

Dalam waktu singkat, istilah People’s Power 2025 muncul di media sosial dan menjadi identitas bersama. Narasinya jelas: rakyat menolak kemewahan elite di atas penderitaan publik.


Ruang Digital sebagai Medan Baru

Jika 1998 bergantung pada media cetak dan radio, People’s Power 2025 menjadikan ruang digital sebagai arena utama. Twitter (X), Instagram, TikTok, dan WhatsApp group menjadi kanal mobilisasi massa.

Video bentrokan, orasi mahasiswa, hingga analisis ahli hukum viral dalam hitungan menit. Bahkan, muncul aplikasi mandiri yang dibuat relawan untuk memantau titik aksi, jumlah massa, dan jalur evakuasi jika terjadi bentrokan dengan aparat.

Kekuatan ruang digital ini membuat gerakan tak bisa lagi direduksi oleh narasi resmi pemerintah. Informasi melompat lebih cepat daripada klarifikasi, dan citra DPR semakin jatuh di mata publik.


Aksi Serentak Nasional

Puncak eskalasi terjadi pada 10 September 2025, ketika aksi serentak digelar di lebih dari 20 kota besar. Di Jakarta, ratusan ribu orang kembali menduduki kawasan Senayan. Di Surabaya, aksi mahasiswa bergabung dengan buruh pabrik. Sementara di Papua, demonstrasi diwarnai dengan simbol budaya lokal sebagai bentuk solidaritas.

Meski sempat diwarnai kericuhan, sebagian besar aksi berlangsung damai dengan disiplin tinggi. Fenomena ini mengingatkan publik pada People Power di Filipina 1986, tetapi dengan wajah khas Indonesia: penuh kreativitas, musik jalanan, dan poster-poster satir.


Respons Pemerintah dan Elite

Pemerintah awalnya mencoba meredam dengan retorika dialog. Namun, ketika gelombang massa terus membesar, langkah represif mulai ditempuh. Aparat memperketat pengamanan, beberapa aktivis digital ditangkap dengan tuduhan penyebaran hoaks.

Sayangnya, upaya ini justru memicu efek sebaliknya. Penangkapan aktivis digital malah memperkuat solidaritas rakyat. Gerakan People’s Power 2025 semakin mendapat legitimasi moral di mata publik.


Demokrasi Digital vs Oligarki Politik

Fenomena ini memperlihatkan benturan nyata antara demokrasi digital dengan oligarki politik. Rakyat yang dulu pasif kini memiliki saluran ekspresi baru: media sosial. Di sisi lain, elite yang terbiasa mengatur narasi lewat media arus utama mulai kehilangan kendali.

Ruang digital bukan hanya menjadi alat protes, tetapi juga ruang deliberasi. Diskusi tentang amandemen konstitusi, reformasi DPR, hingga transparansi anggaran viral di forum daring, membuktikan bahwa publik mampu menginisiasi wacana serius tanpa bergantung pada lembaga formal.


Tantangan Radikalisasi

Namun, tidak bisa dipungkiri, People’s Power 2025 juga membawa risiko. Ada pihak-pihak yang mencoba menunggangi gerakan untuk kepentingan politik praktis. Bahkan, isu-isu ekstrem dan narasi konspirasi ikut menyusup, memunculkan potensi radikalisasi.

Inilah titik krusial: bagaimana menjaga gerakan tetap berada dalam koridor demokrasi, bukan sekadar ledakan emosi yang rawan dimanfaatkan kelompok oportunis.


Peran Akmil94: Menjaga Stabilitas dan Demokrasi

Dalam konteks ini, posisi militer kembali mendapat sorotan. Publik mengingat trauma masa lalu, ketika militer sering dipakai sebagai alat politik. Namun, kali ini banyak perwira aktif menegaskan sikap netral, terutama dari kalangan Akmil94 yang sudah ditempa dengan semangat reformasi.

Generasi ini memahami bahwa militer tidak boleh masuk ke ranah politik praktis. Mereka lebih berperan sebagai penjaga stabilitas—mengamankan aksi tanpa represi berlebihan, sekaligus mendorong jalur komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sipil.


Refleksi Strategis

Akmil94 berada dalam posisi istimewa: mereka lahir dari zaman tanpa gawai, tumbuh bersama reformasi, dan kini menghadapi era digital dengan tantangan baru. Dengan pengalaman tersebut, mereka menjadi jembatan penting antara idealisme demokrasi dan kebutuhan menjaga ketertiban negara.

Pertanyaan kunci yang kini mengemuka: mampukah perwira generasi ini mengawal demokrasi tanpa mengulang kesalahan Orde Baru?


Kesimpulan Sementara

People’s Power 2025 menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum mati. Justru, rakyat sedang belajar mengambil alih kembali kedaulatan yang sempat dicuri oligarki. Ruang digital mempercepat konsolidasi, membuat suara publik tak bisa lagi diabaikan.

Namun, demokrasi tetap rapuh jika tidak diiringi kesadaran kolektif, baik dari rakyat maupun elite. Di titik ini, peran militer—khususnya generasi Akmil94—menjadi kunci: bukan untuk mengambil alih, melainkan memastikan demokrasi tetap berdiri di tengah badai.



Bagian berikutnya akan membahas bagaimana elit politik merespons People’s Power 2025, apakah memilih jalan kompromi, atau justru memperkeras benturan dengan rakyat.




Silahkan beri komentar

0 komentar: